Minggu, 04 Oktober 2009

TIRED!!!

Busedd dahh.
cape amad akkuh...

mana honeykkuh??

honey Zhu, aku merindukan dirimu...
huhuhuhuhuhuuuuuuuwwwwwwwwwwwwww....

kangend akkUhhh....

T-T

Aku uga kangen saat2 duLu... wkt aku masii sahabat ma dia.

Honey, I Luph iuu...

kamu dimana siii???

aku kangend...

tpi... tadi.. Quinnze bilang ma akku, katanya anag x2 bakalan banyag yang digeser! ya ampun!
Oh no!
semoga aku masi tetep bertahan jadi anggota DJ....

Ya Allah... aku takut...

semoga aza tetep di DJ... DJ ALWAYS!!!!!

hix hix...

Sabtu, 03 Oktober 2009

My BesTfRieNds

My besTfrienD, ever after...

7he Ophidianz

My BEST STORY!!

Timeless

This one I made just for Iftitah, who always make me smile every night and make me angry. And honey Zhu, who always stay in my heart and so care to me. Sorry about my guilty, and always remind me. Love you. Shatila. ^_^

Tatapan matanya mengingatkanku akan segala yang pernah ku lalui bersamanya. Senyumnya begitu menawan. Tak ada satupun yang tak bisa buatku hilangkan dirinya dan menghapus dirinya dari hatiku. Namanya Fabian. Panggil saja ia Fabi. Kami berteman dekat kurang lebih satu setengah tahun saat kami masih di sekolah menengah. Dan saat itu pula, kami pernah berjanji…
“Emang cita-citamu apa?.”
“Ehm, apa ya? Pilot! Aku suka jadi pilot!”
“Kok sama? Aku pengen jadi pilot TNI Angkatan Udara. Seru tuh. Kamu?.”
“Lho? Wah, kamu emang suka niru. Tukang nyontek, deh!.”
“Oia, kita janjian jadi pilot aja, gimana?.”
“Oke.”
Aku senang berteman dengan Fabi. Ia lah orang pertama yang membuatku tertawa ketika aku menangis, dan membuatku menangis ketika aku tertawa. Namun, bukan karena itu saja aku senang berteman dengan Fabi. Tapi, karena aku … aku menyimpan perasaan padanya. Perasaan itu begitu menggebu-gebu di hatiku, sehingga aku tak tahan, dan terpaksa ku katakan kepadanya. Dan hal inilah yang membuat hubunganku dengan Fabi merenggang. Ia menjauhiku hingga hari itu. Ia pergi meninggalkan kami semua setelah keputusan lulus diumumkan. Dan sekarang, tak tahu dimana dirinya berada …

“Hai, sayang. Happy birthday, ya…,” Gaza memberiku sebuah bunga lily yang mahkotanya masih basah seperti terkena embun. Gaza memang paling tahu aku suka bunga lily.
“Thanks, ya Za. Oia, kamu ngapain di sini? Kamu gak ada kuliah?,”aku heran melihat Gaza ada di lapangan terbang saat jamnya kuliah.
“Aku kangen aja sama kamu.”
“Udah, ah. Sekarang aku ada prektek terbang, nih. Aku gak mau pikiranku terusik sama kamu.”
“Lho? Emang kamu punya cowok lain yang mau kamu pikirin? Kamu selingkuh sama siapa?,”ekspresi wajah Gaza berubah, ia sedikit kaget.
“Ih, kamu ini. Ya enggak, lah. Coba kamu pikir. Pas aku terbang, aku mikirin kamu, trus aku bengong. Kalo aku jatuh gimana?.”
“Iya juga ya. Hehe… Kamu bener.”
“Ya udah, aku masuk dulu, ya.”
“Ya. Da, sayang.”
Dia bernama Gaza. Anak laki-laki yang pertama menjadi pacarku. Kami bertemu ketika tes ujian SPMB. Ia calon dokter. Sedangkan aku, tentu saja calon pilot TNI angkatan udara. Dengan berusaha keras dan tanpa lelah, akhirnya cita-citaku ini sudah di depan mata. Tak terasa pula aku sudah semester lima, dan sebentar lagi, aku akan jadi pilot sungguhan. Huh, benar-benar tak terbayangkan sebelumnya. Namun, bagaimanakah Fabi? Meski aku telah memiliki Gaza, aku benar-benar tak bisa melupakannya. Kenangan kami begitu rapi tersimpan dalam benakku yang setiap detik akan berputar-putar hiasi pikiranku…

Pintu rumah terbuka begitu saja ketika aku melepaskan alas kaki. Namun, tak tampak seorang pun yang berdiri atau memgang ganggang pintu. Perasaanku jadi tak enak.
“Surprize,”Gaza duduk di sebelah mama dan papa. Aku tersenyum melihat mereka meski hatiku agak bingung dan aku malas memandang Gaza ada di rumah. Aku letih sekali. Biasanya, jika Gaza ingin main ke rumah, ia menghubungi aku terlebnih dahulu. Dan ia tak seakrab ini dengan orang tuaku.
“Ada apa Za? Kok ke sini gak telpon aku dulu?.”
“Ehm…,”ia tersenyum. Dan senyumnya itu menyimpan sejuta misteri. Entah kenapa, aku lebih menyukai senyumnya sebelum ia menjadi kekasihku. Rasanya begitu beda.
“Ara sayang, Gaza ini… Dia mau melamar kamu.” Aku kaget bukan main. Darah di tubuhku mengalir kencang. Aku tak berpikir kalau Gaza seserius ini padaku.
“Gimana, Ra? Kamu mau kan jadi … jadi istriku?.” Dadaku semakin berdegup kencang. Pikiranku melayang layang. Entah dari mana asalnya nama Fabi terkukir kembali dalam benakku. Kata-katanya yang meski tak karuan selalu membuatku tersenyum. Ejekannya yang selalu membuatku jengkel, dan…
“Ara, kamu kenapa?.”
“Oh, enggak kok. Gaza, boleh kan, aku pikir dulu untuk jawab lamaran kamu?.”
“Iya, gak papa. Berapa jam? Dua jam? Atau satu menit?.”
“Satu bulan.”
“Apa? Ra, kamu gak cinta aku lagi? Kamu kenapa, Ra?.”
“Kamu gak tahu gimana perasaanku yang sebenarnya dan kamu gak kenal aku!,” tanpa peduli aku lari dari ruang tamu menuju kamar. Hampir saja aku terjatuh. Dengan cepat, aku mengunci pintu dan menangis di baliknya. Aku tau, kata-kataku tadi sangat menyakiti Gaza.
“Oke, Ra. Aku akan turuti semua mau kamu. Aku akan tunggu selama satu bulan. Apapun keputusan kamu, aku akan tetap mencintaimu.”
Air mataku mengalir lebih deras. Maafkan aku Gaza…
Aku meraih kursi biru yang ada di depan sebuah meja. Buku biru bergambar bintang di tengahnya kini ada tepat di depan mataku yang masih berair. Kubuka perlahan-lahan. Sebuah liontin bertuliskan timeless di tengah hati yang menggantung terjatuh, hampir bersamaan dengan sebuah foto. Seorang anak laki-laki sedang tersenyum tergambar dalam foto itu.
Ku buka hati yang menggantung di rantai liontin. Di dalam hati itu tergambar wajah yang sama persis dengan foto yang terjatuh. Fabian… Fabian yang aku cintai. Aku kalungkan liontin itu perlahan-lahan di leherku. Aku yakin, cintaku padanya akan abadi seperti yang tertulis di hati berwarna keperakan yang kini menggantung di leherku.

“Kamu kenapa?,” Gaza menyadarkanku dari lamunan sore itu.
“Araisha, akhir-akhir ini kamu tampak aneh. Kamu kenapa? Apa ada yang salah sama aku?.”
“Gak papa, kok Za. Sorry, kalo aku emang sering bikin kamu kayak gini.”
“Gak papa juga. Kamu mau gimana pun, aku tetep cinta sama kamu. Ra, itu liontin kamu? Baru ya?.”
“Eh, bukan apa-apa kok. Cuma… ya, iseng aja. Za, aku titip ponsel ya. Aku mau ke toilet. Takut jatuh.”
“Iya,” aku pergi meninggalkan Gaza sendiri. Pikiranku masih menerawang wajah Fabi. Bagaimanakah ia sekarang? Apakah aku telah hilang dari pikirannya?
Cahaya terpantul di pupil mataku sehingga ku dapat memandang diriku sendiri lewat cermin toilet. Air mataku kembali terjatuh. Fabi, aku merindukanmu…
“Fabi, kalo kamu punya cewek kira-kira aku dilupain gak yah?.”
“Gak lah.”
“Kenapa?.”
“Soalnya kamu itu makhluk pengganggu semacam hama yang harus disingkirkan. Aku gak akan ngelupain kamu. Kamu tuh belum ditemuin pestisidanya.”
“Ye, dasar. Aku bukan hama tauk!.”
“Iya, kamu emang bukan hama. Tapi kamu monyet kan?.”
“Enak aja! Kalo aku monyet kamu temennya monyet dong?.”
“Loh? Monyet kan hanuman? Temennya hanuman kan Arjuna? Masa aku mirip Arjuna? Bisa aja kamu… Tapi, emang sih aku ini cakep banget.”
“Iya, dilihat dari sedotan. Hahaha.”
“Sedotan? Sadis banget kamu....”
“Ra! Woi… Kamu ngapain di situ?,” Vana mengagetkanku.
“Tuh, dicari Gaza. Denger-denger, kamu mau tunangan ya?,”aku tak menggubris menggubris pertanyaan Vana. Bibirku tetap tak bergerak. Aku hanya melempar pandangan heran dan agak sinis terhadapnya lalu segera menemui Gaza.

“Pantainya indah banget ya Ra …,”kata Gaza seraya menggemgam tangan kananku. Ombak di pantai semakin besar dan bergelombang saling berkejaran. Angin sore di pantai itu sebenarnya angat nyaman. Namun tidak dengan perasaanku.
“Iya…,”aku menatap air yang biru dan dihiasi oleh sinar mentari terik yang akan jatuh ke peraduannya dengan tatapan kosong.
“Happy birthday!,”aku melempar telur tepat di kepala Fabi. Teman-temanku yang lain berlarian menjauh. Bau amis mulai tercium di hidung.
“Kurang ajar!,”Fabi mengejarku di sepanjang pantai berusaha mengelap rambutnya pada bajuku.
“Bersihin dong. Nih, rambutku jadi amis, Ra.”
“Iya, iya,”aku membasahi rambut Fabi untuk menghilangkan sisa pecahan telur. Lalu, dengan sengaja ku percikkan air ke wajahnya. Kau berlari menyisir bibir pantai. Kakiku rasanya sakit sekali. Aku terhenti. Fabi menangkapku. Ia mencengkram leherku. Aku tahu, ia sedang bercanda karena tak mungkin akan membunuhku hanya karena percikan air dan cengkraman tangannya yang dingin sangat hati-hati. Leherku sedikit geli disentuh tangannya. Aku memegang jarinya dan berusaha menariknya dari leherku yang semakin bergetar. Ia melepas cengkramannya. Ia tersenyum padaku. Sinar lingkar pupilnya yang kecoklatan jelas menggambarkan kalau ia sedang bahagia siang itu. Fabi memegang bahuku, dan …
“Ara, kamu kenapa selalu bengong kayak gitu?,”Gaza membuatku tersentak.
“Gak papa, aku Cuma… aku Cuma ngerasa gak enak badan aja.”
“Sudah satu bulan berlalu aku ngelamar kamu. Hari ini penentunya. Kamu mau jadi istriku?.”
Oh tidak, aku lupa kalau hari ini aku haru menjawab.
“Za, tempat ini gak enak. Kita pergi aja, yuk?.”
“Kenapa tempat ini gak buat kamu nyaman?. Udaranya sejuk. Bersih. Pantainya indah.”
“Aku Cuma ngerasa gak nyaman aja di sini….”
“Apa karena tempat ini adalah saksi kenangan kamu dengan Fabian?.” Mataku terbelalak. Aku kagetnya aku, sampai aku hampir terjatuh, padahal aku hanya berdiri saja.
“Kamu… kamu… tempat ini biasa aja dan gak ada hubungannya dengan Fabi. Lagipula dia juga Cuma temen deketku. Kita juga bukan sahabat. Sebatas temen, Za.”
“Tapi kamu menyimpan perasaan sama dia kan? Kamu masih cinta dia kan?,” kali ini aku tak tahu harus berkata apa pada Gaza.
“Ka… kamu tau dari mana?.”
“Ponsel kamu. Aku baca catatan di ponselmu dan aku sudah tahu semuanya.” Air mataku kembali mengalir deras dan membasahi pipi.
“Maaf, Za. Maaf. Oke, aku akan terima lamaran kamu dan … .”
“Gak! Kamu gak cinta sama aku. Di hati kamu dan liontin itu Cuma ada Fabi. Fabian! Tapi, asal kamu tahu, Ra. Aku cinta sama kamu. Dan… cinta itu tanpa harus memiliki. Aku rela meski kamu bukan milikku lagi. Aku akan cari Fabian sebagai bukti cintaku. Dan aku akan temukan dia! Aku janji!.” Gaza pergi. Air mataku masih mengalir deras. Gaza, maafkan aku. Sungguh, aku tak bermaksud menyakiti hatimu…

Sendiri, aku termenung di dekat lapangan terbang. Liontin yang menggantung di leherku ini, semakin lama semakin membuatku teringat akan Fabian.
“Araisha Fannika, itu kamu kan?,”seorang laki-laki tegap berdiri memakai seragam TNI lengkap mengejutkanku.
“Iya, benar saya Araisha. Maaf, tapi siapa Anda?.”
“Saya Ganesha. Panggil saja Esha. Kapten Esha.”
“Oh, yaampun, maaf kapten. Maaf.”
“Tidak apa-apa. Kita dalam suasana santai, kok. Oia, saya hanya ingin memberitahu kepadamu. Besok akan ada pemilihan anggota pilot TNI AU untuk mewakili Indonesia yang akan menjaga perbatasan di sana atas nama PBB. Jangan lupa datang tepat waktu. Pukul tujuh tepat.”
“Baik, Kapten,” aku menghormat. Kapten Esha membalas, tiba-tiba entah dari mana aku melihat Gaza datang dan ia menghampiri kami.
“Araisha, saya tinggal dulu. Jangan lupa besok pagi,” aku kembali menghormat, dan Kapten meninggalkanku berdua dengan Gaza.
“Kenapa?,”tanyaku cuek pada Gaza sambil melepas sarung tangan hijau yang kupakai ketika latihan terbang.
“Aku sudah tepati janjiku.”
“Janji apa?,”aku tetap tak menatap wajah Gaza.
“Nanti sore, di pantai kemarin. Tepat pukul empat.” Tanpa berkata apapun lagi Gaza pergi dengan langkah yang sedikit dipercepat. Tadi, ia berkata kalau ia telah menepati janjinya. Apakah ia telah menemukan Fabi? Apa ia mencari Fabi untukku?.

Dengan tergesa-gesa aku membuka pintu mobil setelah aku berhenti di sebelah pohon kelapa yang rindang. Sedikit aku melangkah maju, lalu langkahku terhenti. Aku takut. Apa Gaza benar-benar mempertemukanku dengan Fabi? Fabi yang selama ini aku tunggu dan aku cinta? Perlahan-lahan kucoba tuk gerakkan kakiku, tapi… tidak! Jika yang berdiri jauh di sana itu benar-benar Fabian, bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus berkata aku telah lama menunggunya kembali dan aku tetap mencintainya lalu ia akan pergi lagi?
Kututup mataku untuk mendapatkan ketenangan hati. Aku harus berani bertemu dengan Fabian karena aku telah lama menunggunya. Apapun nanti yang akan terjadi, aku harus menemuinya. Kulangkahkan kakiku mendekat di bibir pantai. Beberapa menit ku berjalan, tampak dua orang laki-laki di tengah sinaran cahaya matahari. Lelaki yang memakai baju merah terang, aku tahu itu Gaza. Ia menoleh padaku, menghampiriku, dan menarik tanganku menuju laki-laki yang tadi berdiri di sebelahnya yang tingginya kurang lebih lima sentimeter melebihi Gaza.
“Fabian, inilah perempuan yang mencintaimu sepenuh hati dan cintanya mengalahkan cintaku padanya,” Gaza berkata pada lelaki yang memakai jumper abu-abu itu. Lalu, dia menoleh, membalikkan badan untuk menghadapku.
“Fabian …,” tanpa terasa aku memeluk laki-laki itu.
“Iya, ini aku. Ra… Ra. Kamu tega ya nyakitin pacar kamu. Ya, aku tahu. Cewek manapun pasti cinta sama Arjuna kayak aku….” Aku masih tak mampu melepaskan lingkar tanganku dari tubuh Fabian. Hangatnya benar-benar melebihi pegangan tangannya. Melebihi saat ia memegang bahuku, atau mencengkram leherku. Kami berpelukan begitu lama. Mungkin ia sengaja membiarkanku merangkul tubuhnya.
“Kok nangis?,” tanya Fabian ketika kami tak berpelukan.
“Hah? Masa aku nangis?,”aku berusaha menghapus air mata.
“Masa cowok nangis? Kamu cowok kan?,” katanya lagi.
“Kamu tuh, ya. Dasar! Aku sekarang udah gak tomboy lagi, Fab….”
“Kamu udah jadi pilot ya?.”
“Iya. Kamu sendiri?.”
“Ada, deh.”
“Jangan-jangan kamu gagal dan gak nepatin janji kamu ya?.”
“Liat aja nanti. Ntar juga tahu sendiri.”
“Fabi, aku kangen banget sama kamu!.”
“Ya, biasa lah. Arjuna memang selalu dirindukan.”
“Ye… Arjuna. Bilang aja alien. Gitu aja susah. By the way, ini jumper kamu yang waktu itu, kan? Kok masih ada?.”
“Ya iyalah. Awet kan? Kan jumperku, kamu, Zana, Agin sama semua sampe-sampe anak-anak manggil kita keluarga bahagia.
“Iya-iya …,” aku sengaja menoleh ke belakang mencari Gaza untuk berterima kasih, namun ternyata ia sudah tak ada.
“Fab, Gaza mana?.”
“Mmm, gak tahu. Tadi kayaknya dia pergi. Eh, laper nih. Makan yuk?.”
“Oke deeeh. Yuk!.”
Hari ini sungguh aku sangat bahagia. Fabi menggenggam tanganku. Gaza, terima kasih telah mempertemukan aku kembali dengan Fabian.

“Pilot kita kurang seorang lagi. Sebenarnya Araisha, kamu yang akan ditugaskan, tapi karena kamu wanita, jadi ….”
“Kapten, saya ini pilot yang sudah lulus ujian terbang dan saya tidak mau dibedakan dengan kaum Adam! Saya akan melakukannya sebaik mungkin!.”
“Baiklah kalau memang itu yang kamu mau ….”
“Gak usah Om!. Dia itu cewek. Cengeng lagi. Dikit-dikit nangis. Turun tangga aja gemeteran. Apalagi bawa pesawat,” dengan geram aku menoleh pada lelaki itu dan ingin memakannya hidup-hidup, tapi ternyata …
“Fabian! Om kangen sama kamu. Kapan kamu nyampe ke sini?.”
“Kemarin siang Om. Oia, aku boleh kan ke sana gantiin tugas Ara?.”
“Iya-iya. Boleh. Kamu kok bisa kenal dengan Araisha? Sepertinya akrab?.”
“Ya iyalah, Om. Dia itu cewek yang naksir aku waktu SMP!,” aku kaget mendengar jawaban Fabi.
“Eh, enak aja. Dasar!.”

Di sebuah butik aku mencari pakaian yang pas. Aku kembali teringat Fabian. Ia benar-benar gagah kalau memakai baju marinir. Ia menepati janjinya. Tak sengaja ku lihat Gaza di butik itu. Ku hampiri dia.
“Gaza! Thanks banget ya. Sumpah, aku bahagia banget. Aku seneng. Ternyata Fabi masih kayak dulu. Tetep gila, aneh. Huuuh, pokoknya dia lucu banget, Za!.”
“Iya, dan ternyata memang Fabi yang kamu harapkan, bukan aku.”
“Maksud kamu?.”
“Ra, aku tuh udah ngelamar kamu! Kamu jangan gantung aku! Aku mencintai kamu sepenuh hati sampai-sampai aku rela mencari Fabi untuk kamu. Kamu pikir aku gak sakit hati, Ra!? Kamu lebih memilih Fabi yang Cuma nganggep kamu sebagai sahabat, yang sama sekali gak cinta sama kamu!.”
“Denger, ya Za! Aku cinta sama dia, dan aku yakin suatu saat dia bisa sadar kalau aku benar-benar tulus. Dan, asal kamu tahu, aku gak cinta sama kamu. Dari awal aku nerima kamu Cuma karena aku kasihan sama kamu.”
Aku pergi dari Gaza dan meletakkan baju ungu muda di tempat yang tadi ku ambil. Aku melangkah dengan cepat, agak berlari. Tanpa sadar, aku kembali menyakitinya. Hatinya pasti sangat sakit dan sekarang ia membenciku.

Hari keberangkatan pasukan Garuda ke Afganistan telah tiba. Di bawah komando PBB, mereka di kerahkan untuk mencapai perdamaian dunia. Fabian menjadi pilot salah satu pesawat tempur di sana. Sebenarnya aku hendak mencegahnya pergi, aku benar-benar khawatir.
“Ra, aku pergi dulu, ya?.”
“Iya. Kamu jaga diri baik-baik ya?.”
“Oke, Ra. Kalau mau tidur jangan lupa cuci kaki ya?.”
“Ye… itu, kan kata-kataku. Tukang contek!,” aku tersenyum. Kami lalu terdiam beberapa saat samapai kapten Esha memanggil Fabi.
“Fabi,”ada sesuatu yang membuatku menggenggam tangannya,”Aku cinta kamu.” Ucapan itu begitu saja keluar dari bibirku. Lancar, sama sekali tak ada hambatan.
“Love you too.” Ia mengecup keningku. Oh, Tuhan akhirnya semua mimpiku berhasil ku gapai. Akhirnya Kau kabulkan doa hambamu ini. Terima kasih ya Allah…

Dua belas hari sudah Fabi pergi menjalankan tugas dan dua belas hari pula aku tak bertemu serta bertegur sapa dengan Gaza. Aku yakin, dia juga sudah membenciku. Saat ini, aku sedang berdiri di lapangan udara, sedang menunggu Fabian.
Sekitar satu jam aku menunggu, akhirnya pesawat marinir itu tiba. Dengan senyum bahagia, aku menunggu Fabi turun dari pesawat. Satu demi satu anggota pasukan turun, namun akun tak melihat Fabi di sana. Dan anehnya, mereka menurunkan peti besar seukuran tubuh manusia yang dibalut kain merah putih. Aku tak mengerti. Dimana Fabi?
“Araisha, terima kasih kamu telah datang ke sini. Oia, ada salam dari Fabi. Katanya, dia minta maaf kalau dulu ia pernah menjauhi kamu. Setelah jauh darimu, dia sadar, dia mencintai kamu,”Kapten Esha tiba-tiba ada di belakangku.
“Iya, Om. Fabi sudah cerita pada saya. Fabi sekarang dimana Om?,”aku bertanya menatap lekat mata Kapten Esha dengan perasaan gelisah. Seketika itu, air matanya menetes. Aku semakin bertanya-tanya, apa yang terjadi pada Fabi.
“Fabi… dia… Allah telah memanggilnya…,” aku tersentak. Mungkinkah yang di peti itu… itu Fabi? Dengan perasaan yang galau, dan masih tak percaya, aku berlari mendekati peti itu. Sesaat ada sesuatu yang seperti membuat jarakku dan peti itu semakin jauh. Perlahan, kubuka balutan bendera di atasnya. Tanganku lemah, seakan tak bisa bergerak.
Peti itu terbuka. Wajah Fabian yang putih bersih nampak lebih kusam. Kain kafan masih bekum membalut raganya. Ku pegang pipinya yang dingin, sedingin udara di malam hari. Aku masih tak percaya ia telah pergi. Air mataku membasahi pipinya, membuatnya semakin dingin…
“Aku gak bisa mngebayangin kalo aku mati nanti. Gimana ya?,” tanyaku sesekali melirik wajah Fabi yang agak serius.
“Emang kamu mau mati ya? Tanya itu terus.”
“Aku punya penyakit yang parah, Fabian…,”aku menatap lekat matanya yang konsentrasi memainkan ponsel.
“Udah, lah. Ngapain juga dipikirin. Have fun aja.”
“Fab, aku itu cinta sama seseorang yang gak cinta sama aku. Lebih baik aku mati aja deh.”
“Kasihan orang itu, dicinta sama kamu.”
“Lho, emang kenapa?.”
“Kamu ituorang yang mudah nyerah sebelum dapetin cinta kamu. Sampe mau bunuh diri segala. Seberapa pentingnya sih, dia buat kamu?.”
“Fabian,… dia itu orangnya ganteng banget. Keren, lucu, pinter, alim, ngertiin aku, setia, dan yang pasti dia cowok pertama yang bikin aku nangis.”
“Oh gitu. Tapi gak fer banget kalo kamu bunuh diri. Kematian itu hanya ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, Tuhan kita, Allah. Kamu gak berhak mutusin hidup kamu sejauh mana. Apalagi hanya karena cinta. Kita ini masih SMP. Jadi, gila banget kalo kamu bunuh diri karena cinta. Kematian itu takdir dari Allah, Ra. Untuk kamu, dan juga aku….”

“Araisha…,” wajah Gaza yang pertama kali kulihat di ruangan serba putih itu.
“Dimana aku?,” aku segera ingin bangkit, namun Gaza mencegahku untuk tidur kembali.
“Kamu tadi pingsan, Ra. Aku juga sedih atas kejadian yang menimpa Fabian. Mungkin sudah saatnya dia pergi.” Saat itu aku ingin menghantamnya ketika ia mengatakan kata-kata itu. Tapi, tak ada gunanya lagi. Itu tak kan membuat Fabian kembali, malah akan menambah runyam masalah.
Hatiku sedang kacau dan benar-benar hancur. Aku tak peduli ada Gaza di ruang itu. Ku buka liontin itu, dan ku baca tulisan yang terukir di luarnya, Timeless : Abadi. Meski Fabian telah pergi meninggalkanku, aku akan selalu menyimpannya di hatiku. Ia akan menjadi cintaku yang abadi, abadi.
Timeless, don’t let it end, no.
Now that you right here in my arm where you should stay.
Hold tight baby, timeless…
“Maaf, Ra. Ada telpon. Aku keluar dulu,ya,”aku kaget mendengar bunyi ponsel Gaza. Ia tak pernah bercerita tentang lagu itu padaku. Lagu itu benar-benar mengingatkanku pada Fabian.

Aku dan Gaza menyusuri tepian pantai sore itu. Dialah yang selama ini menghiburku setelah Fabian pergi. Ia membuat hatiku yang hancur dan gundah sedikit tenang. Kurasa, aku mulai mencintainya. Selain Fabian, wajahnya lah yang kini selalu melayang di tengah pikiranku.
“Araisha, aku tau, kamu masih cinta dan gak akan pernah ngelupain Fabi. Tapi… apa kamu mau jadi istriku?.”
Aku menatap matanya lekat-lekat. Mata dengan pupil dan kornea berwarna kecoklatan, sama dengan mata Fabian. Aku seakan menatap mata Fabi kembali. Aku hanya tersenyum, dan mengangguk. Ia segera memelukku. Aku merasakna kehangatan yang sama ketika Fabian yang melinggkarkan lengannya di tubuhku. Aku seakan terlelap di balutan tubuhnya.
“Ara, aku akan meninggalkanmu sebentar saja. Selama seminggu,” kata Gaza ketika ia melepaskan pelukannya, “Gaza, Gaza di Palestina membutuhkan bantuan kesehatan, dan…”
“Gak! Aku gak mau kehilang seseorang lagi, Za. Aku gak mau…!.”
“Araisha,” ia memegang kedua pipiku, “Aku berjanji akan kembali. Aku kembali….”, kecupannya di keningku merasa yakin dan mengizinkannya. Tapi, sejujurnya, aku benar-benar khawatir.

Seminggu penuh aku kembali sendiri. Gaza pergi dan sekarang tiba saatnya untuk kembali dan menemani kesendirianku lagi. Pesawat yang membawanya telah tiba. Tapi, … tidak! Tidak! Yang turun dari atas pesawat itu peti, peti lagi.
Tanpa rasa peduli aku pergi mencapai peti itu. Sekali lagi, rasanya jarak antara aku dan peti itu semakin jauh. Hatiku benar-benar gelisah.
Ku buka peti itu perlahan-lahan dan… tidak! Bukan! Orang itu tidak ku kenal, dan dia bukanlah Gaza! Perasaanku lega sesaat, tapi dimana Gaza? Rasa gelisah dan ketakutan kembali muncul.
“Maaf, apakah tidak ada dokter yang ikut pergi ke Palestina?,”aku bertanya pada seorang pasukan yang baru saja turun dari pesawat.
“Oh, kalau dokter, tunggu saja di pesawat berikutnya.”
“Iya, terima kasih.” Baru saja aku mengucapkan kata-kata itu sebuah pesawat milik tentara angkatan Udara mendarat. Beberapa saat kemudian, turunlah beberapa anggota pasukan, dan peti!
“Kapten, berapa jumlah pasukan yang tewas di perbatasan Rafah?.”
“Ada dua orang. Mereka tertembak saat bertugas, dan satu dokter, bernama Gaza Ibnu Sina.”
Aku kaget mendengar perbincangan dua orang pasukan TNI di sebelahku. Aku tak percaya! Gaza masih ada! Tidak! Aku berlari, berlari menjauhi tempat itu. Sesekali ku menoleh ke belakang, peti yang baru saja diturunkan itu seperti mendekatiku, sangat dekat. Aku berlari, dan terus berlari, hingga samapi di jalan raya, dan aku tak bisa melihat peti itu lagi.
Dengan perasaan yang begitu hancur, aku duduk di sebuah halte yang agak sepi. Ku pandangi liontin yang menggantung di leherku. Kupegang, dan kubuka perlahan-lahan. Kutatap dua wajah orang yang aku cintai, Fabi dan Gaza. Air mataku terus mengalir.
Tiba-tiba aku terpaku dengan dua anak lelaki kembar yang sedang menatapku. Mereka tersenyum. Aku hanya membalas dengan tatapan kosong. Ibunya, yang berada di seberang jalan memanggil mereka.
“Fabian ,… Gaza… Ayo kemari!,” aku benar-benar tak percaya. Fabi, Gaza…
Dua saudara kembar itu menyeberang jalan yang sedang ramai, dan tanpa hati-hati. Sebuah mobil sedan hitam melaju cepat ketika Fabi dan Gaza menyeberang jalan. Tidak… aku tidak mau kehilangan Fabi dan Gaza lagi… Tidak!
Dengan cepat, aku berlari, berusaha secepat mungkin. Setelah aku mencapai mereka berdua, ku dorong mereka. Kini, aku berhadapan dengan sedan hitam yang melaju kencang lalu… semuanya menjadi hilang, dan gelap….

“Kematian itu takdir dari Allah untuk kita, Ra. Untuk kamu, dan juga aku.”

CERPENKKUH

ALIEN DAN 101 UFO





AZA GILA
From: 101 ufo
Begitulah isi SMS yang baru saja kubaca. Huh, aku begitu sebal. Ada saja yang datang mengganggu. Tapi, aku rasa nama 101 ufo begitu familiar di telingaku. Oh, ya namaku Azalea Putri Raidzani. Teman-teman biasa memanggilku Aza.

“Selamat datang alien dari planet pluto!.” Titah, Toni dan Kiky menyambutku tepat di pintu depan kelas. Aku membalas mereka dengan menampakkan wajah cemberut. Baru saja aku duduk, datanglah seorang anak laki-laki jangkung.
“Aza… dicari Akbar tuh! Ceile…!.” Namanya Iqbal. Ia memang nakal dan suka menggangguku. Ada saja yang dia perbuat untuk membuatku marah. Wajahnya mirip dengan Tria The Changcuters.
Aku mengejar Iqbal dengan sekuat tenaga.Aku memukulnya, ia membalasku, kemudian kami berkejaran kembali. Ketika aku menoleh ke arah kanan, aku melihat Titah, Toni dan Kiky sedang merekamku dengan ponsel. Aku kaget. Tanpa kusadari, Iqbal mendorongku, dan “brukk!,” aku terjatuh di pangkuan Akbar. Teman-teman sekelas menyorakiku. Kini, yang kukejar bukan Iqbal lagi, tapi Titah, Kiky dan Toni.
“Hei, mana ponselmu? Kalo ngerekam artis bayar, dong!.”
“Biarin! Dasar artis got! He,he,he. Tinggal sambungin pake USB atau bluetooth, taruh di komputer, trus sebarin aja lewat internet!,”ujar Toni membuatku marah.
“Gak usah! Langsung sebar aja ke ponsel anak-anak lewat bluetooth. Beres, kan?.”
“Gak perlu! Langsung aja dari ponsel kirim ke internet! Lebih cepat, jangkauan-pun lebih luas!,”sambung Titah menirukan intonasi peraga iklan ponsel di TV. Mereka bertiga tertawa lebih kencang. Dalam waktu emas itu, aku merebut ponsel dari tangan Toni. Terjadi tarik-menarik antara aku vs. Toni, Titah, dan Kiky.
“Woi… Ini hape, bukan lontong!,”suara Toni menggelegar. Ia tertawa. Aku pun tertawa mendengar kata-katanya. Mereka benar-benar menyebalkan. Kalau saja Allah menghendaki, aku ingin mengutuk mereka jadi batu. Aku tak begitu suka dengan mereka. Mereka bertiga menjadi sahabat sejak lama.
Titah, anaknya berkulit putih, tinggi, tapi jalannya agak bungkuk. Aku selalu kalah bila bertengkar dengannya. Tangannya kuat. Leherku ini pernah jadi sasaran tangannya. Badanku sakit sekali selesai berkelahi dengannya. Ia anggota OSIS di sekolah. Setahuku, ia pintar matematika. Kata teman-temanku sih, ia tampan. Hh, kalau bagiku, dilihat dari sudut manapun ia tetap aneh. Karena aku dekat dengannya, teman perempuanku memfitnah aku menyukainya. Huh, itu membuat aku jadi malas untuk dekat dengannya lagi.
Toni, anaknya tak begitu tinggi. Kulitnya lebih putih dari Titah. Itu yang membuat kau bisa membedakan ia diantara anak laki-laki lain di kelasku. Awalnya, aku dan dia berteman karena kami sama-sama pendukung Chelsea F.C, klub sepak bola asal Inggris. Tapi, itulah yang tidak kusuka dari dirinya. Jahil, usil dan ada saja kata-katanya yang membuatku ingin berkata padanya, “Kamu gak pernah makan sandal, ya?.” Ia pernah memanggilku ‘Ucupwati’ gara-gara aku memakai baju bola ketika bimbel. Itulah awal persengketaan kami.
Kiky, anaknya memiliki badan yang cukup berisi. Aku tak begitu tahu tentang dirinya. Yang jelas, ia penggemar berat Ricardo Izecnoz dos Santos Leite, atau Kaka. Ia pintar bahasa Inggris. Yang tidak kusukai adalah gayanya yang sok cool padaku.
Entah kenapa, hari ini aku memiliki perasaan aneh pada mereka. Entah, apa yang akan terjadi.

Siang itu, seusai istirahat, teman-temanku mengerumuni Toni. Aku tak tahu apa yang akan terjadi.
“Uang kamu hilang berapa Ton?,”tanya Kiky.
“Dua ratus ribu, Ky. Itu sisa uang sakuku sebulan!,”jawab Toni. Wajahnya terlihat cemas. Badannya kaku setelah membongkar dan mengeluarkan seluruh isi tasnya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Tatapannya kosong. Alisnya yang tipis seperti tak kuasa menahan air keringat itu,yang perlahan-lahan membasahi karpet di dekat kakinya berpijak.
“Hah? Dua ratus ribu? Hilang?,”aku kaget. Toni hanya bisa menatapku kosong dengan bola matanya yang kecoklatan itu.
“Gimana kalau ku laporkan?,”usul Titah, “Pasti ketemu pelakunya.”
Toni hanya mengangguk. Titah menarik tanganku.
“Ayo, ikut!,”katanya.

Bu Endang berdiri tegak dengan kewibawaannya di depan kelas setalah aku dan Titah melaporkan kejadian yang mengagetkan tadi. Beliau menyuruh kami berdiri di depan kelas untuk memeriksa seluruh tas penghuni kelas ini. Kami tegang. Perasaan ingin tahu siapa yang mencuri uang Toni kini muncul di benakku.
Jantungku berdetak lebih kencang lagi setelah Bu Endang menemukan uang di tas Titah. Jumlahnya sama dengan yang dikatakan Toni. Tapi, apa mungkin, Titah pelakunya?
“Sumpah, Bu. Saya gak ngambil! Buat apa saya mengambil uang sahabat saya sendiri?,”bela Titah atas dirinya sendiri. Perdebatan terjadi antara Titah dan Bu Endang. Toni dan Kiky hanya diam saja. Pandangan mereka menunjukkan kebencian yang begitu mendalam.
#
“Sumpah, demi Allah, bukan aku yang ngambil, Ton!,” Titah berusaha mendapatkan kata maaf dari kedua sahabatnya.
“Halagh, kamu pikir aku gak tau? Kamu tuh udah nusuk kita dari belakang!,”sergah Toni. Pandangannya setajam mata elang.
“Makasih banget ya sahabatan sama kamu. Aku gak nyangka banget kamu tega ngelakuin hal separah itu sama sahabat kamu sendiri,”kata Kiky dengan senyum kecut.
“Oke, oke. Aku akan ganti dua kali lipat. Kalo perlu lima kali lipat. Tapi, asal kalian tahu, bukan aku yang mengambil uang itu!.”
“Makasih. Kita tahu kamu kaya. Gak perlu sesombong itu sama kita,”Toni membereskan bukunya yang masih tergeletak di atas meja.
“Yang kaya itu bukan aku, Ton. Pasti di kelas ini ada yang mengadu domba kita, Ton. Persahabatan kita….”
“Persetan sobatan sama kamu. Yuk,Ky. Kita pulang. Males banget bicara sama dia!.”
“Oke. Yuk, cabut.” Mereka berdua meninggalkan kelas. Titah masih tetap termenung di dekat tempat duduk Toni. Titah sendiri di kelas. Bersamaku yang sedang duduk di bangku deretan nomor dua dari belakang yang dari tadi luput dari perhatian mereka bertiga.
“ Kamu gak papa? ,”kataku terbata-bata. Titah kaget menyadari keberadaanku di berdiri kaku di sampingnya.
“Emang aku sakit? Aku gak papa, kok. Khawatir banget. Orang keren banyak yang khawatir,ya?,”bibirnya tersenyum padaku. Tapi, senyumnya terkesan terlalu dipaksakan.
“ Kamu belum pulang?.”
“Mana bisa aku meninggalkan seekor alien yang telah ditinggal kedua sahabatnya?.” Ia tersenyum lagi dan segera memasukkan buku ke tasnya.
“Yuk, pulang!,”ia masih tersenyum. Aku tahu, ia berusaha menyembunyikan kesedihannya yang begitu mendalam.

Hari ini sepi. Pagi tadi, tak ada yang menyambut kedatanganku seperti biasanya. Titah, Toni, dan Kiky kini tak bersatu lagi. Aku rindu pada mereka.
“Ton, ayo dong, baikan sama Titah. Lagipula dia sudah minta maaf sama kamu, kan?.”
“Kenapa sih, kok kamu selalu ikut campur masalah kita?,”Toni sewot.
“Bukannya gitu, Ton. Apa kamu gak lihat? Sejak musuhan sama kamu Titah selalu termenung. Ia sedih banget.”
“Halagh, paling kamunya aja yang kasihan sama dia?,”Kiky angkat bicara.
“Ye, gak lah. Titah salah apa, sih? Kenapa kalian gak maafin dia? Aku yakin. Kalian berdua pasti kehilangan Titah,kan?.”
Toni dan Kiky terdiam. Ada sedikit rona penyesalan di raut wajah mereka yang nampak kaku dan dingin.
“Oke. Aku akan maafin Titah kalau dia mau minta maaf ke aku.”
“Oke!”, dengan semangat aku langsung menuju Titah yang sedang mengutak-atik ponselnya.
“Titah… Toni mau maafin kamu asal kamu yang minta maaf duluan! Ayo, cepetan!.”
“Hah? Minta maaf ke mereka? Gak salah? Enak aja! Jangan harap, deh! Mereka yang fitnah aku. Masa aku yang harus minta maaf?!.” Aku terdiam lemas mendengar kata-kata Titah. Mereka benar-benar kompak. Kompak keras kepala, pastinya.

Pagi itu agak mendung. Matahari terik bersembunyi di balik awan. Ketika aku sedang menyalin PR matematika, entah kenapa aku berfikir tentang SMS yang selalu menggangguku. Aku penasaran tentang mereka.
“Eh, kamu tau gak 101ufo itu siapa?,”tanyaku pada Titah. Ia menggeleng.
“Aku tahu!,”sahut Kiky dari belakang. Aku menghampirinya.
“Siapa?”. “Gak tau!,” katanya. Ia dan Toni tertawa seakan meledekku. Titah yang berada di depan kelas tersenyum menatap kami. Dengan perasaan kesal, aku duduk. Kemudian, ponselku bergetar kembali.
KAMI B’3 G PRLU BNTUANMU UTK B’STU KMBLI!
AZA ALIEN GILA!
From: 101United Friends Organisation.
“ALIEN sedang membaca SMS!,” Titah, Kiky dan Toni bersorak. Mereka sudah kembali seperti dulu. Aku sangat rindu mereka. Kini, aku tak marah bila dikatai Alien lagi. Aku justru senang. Tapi, apa kau tahu, siapa orang yang mengambil uang Toni? Jawabannya adalah aku. Aku hanya ingin menguji persahabatan mereka. Sampai saat ini, rahasia itu tak pernah terbongkar kecuali pada para pembaca HORASS tentunya. Keep peace!!!!

BY: sHaTiLa_fi3

What???

Remidi lagi??
what??
aduhh, puyeng daahh guaa...
napa kudu remidi???
ne remidi PKn pertama ku dalam seumur hidupku..
Nasib, nasib, dapet soal anag X-1 yang susaahhhh..
Untung aza soal yang ku buat muter2 and bikin puyeng. Klop laaah sudah...
But, napa kudu remidi sii??? whY???

padAhal tinGGaL bener satu lagi tuuh, udah Lolos... ya AmPund, nasiB...

kuRang usAha kaLi ya?
pdHl malemnya aku udah belajar, berdoa dan yang Laindnya.. Maybe it's not my lucky.Yahh, tag apalah. TAK ADA YANG TAK BISA DIKALAHKAN, karena IMPOSSIBLE IS NOTHING, kecuali ya Allah S.W.T.
heheheee.....

aduuh, capeg banged minggu ni...

Mana besog latihan upacara lagi...
nyebelin... ampun daahhh.
maunya free, jadi super sibug.



tau daahhhhh


capegggggggggggg..


yg mikirin masalah ini itu..

pa lagi Honey Zhu gi ngambek kagak jelas gto..

adoh.



tau, ah, gelaaaapppp

MY TRANSLATIONS

Welcome in my translations!

Irasshaimase!

sebelumnya, perkenalkan ...

Nama Lengkap : SHATILA JIHADIYAH FITRI

Panggilan : Shatila

Sekolah : SMA Negeri 1 Bangkalan - SMANSABA

Kelas : X-2

email : shatila.nox@gmail.com/ zellahataraku@ymail.com

bLood type : O (sp tau ada yg mw donor...)

mafa : yang pedeszzzzzzzzz

mifa : Jus alpukat forever

Genre of music : ROCK, nu Metal

bAnd fave : LINKIN PARK, MY CHEMICAL ROMANCE, DEAD BY SUNRISE, FORT MINOR.

Motto : Impossible is nothing,

Kata semangat : Tak ada yang tak bisa dikalahkan....