Langganan:
Posting Komentar (Atom)
My translation of the live.. as a wizeman... NOX!
Ruang Waktu Antara Cinta dan Kematian
Berawal dari sebuah mimpi burukku, yang membuat tidurku tak tenang karena aku lupa membaca doa. Sebuah kisah antara cinta persahabatan, untuk sahabat-sahabatku yang namanya disebut di cerita ini. Khususnya untuk Putri, yang bersama-sama kita lalui masalah kita dengan have-fun. Aku akan menceritakan mimpi burukku...
#
Malam itu angin kencang terus saja menyapu udara yang kosong, namun penuh debu. Pohon-pohon yang lusuh masih saja berdiri tegak, meski agak tergoyang disentuh angin. Malam gelap, yang sebenarnya agak menakutkan kalau aku keluar sendiri. Malam ini, aku ada sebuah acara di sebuah sekolah ternama. Acara perkumpulan SMP yang harus ku hadiri. Aku berangkat bersama mama yang malam itu harus mempresentasikan hasil kerja di kantornya.
Begitu aku sampai di tempat itu, temanku sudah berkumpul dan membentuk satu regu. Aku turun dari mobil yang dikemudikan mama. Kupandangi kawan-kawanku dengan senyuman. Tapi, aku melihat Putri, sahabatku, sedang sendiri di pojok sebuah pohon. Ia Putri atau bukan? Kuberanikan diriku untuk mendatangi sahabatku itu. Aku berjalan hati-hati sambil memerhatikan Putri. Kakinya masih ada. Berarti ia bukan setan. Tapi, mengapa ia berdiri di pojok situ?
“Put, ini kamu kan?,”aku bertanya penuh heran,”Kamu kenapa?.”
Putri menggeleng.
“Gak tau, Shat... Aku tau-tau sedih gitu....” Aku diam saja. Pasti anak ini punya masalah, kupikir. Aku ikut diam di sebelah Putri, memandangi teman-temanku yang lain yang sedang bersenang-senang di bawah pohon beringin tua, namun masih kuat.
“Tapi, ah, Cuma firasatku aja. Ayo, kita ke sana,” ajak Putri, setelah kusadari kalau kita sudah menjauh dari keramaian selama setengah jam.
Aku dan Putri menghampiri kumpulan teman-teman kami yang sudah siap memulai festival. Sebuah festival menari bersama. Dalam festival ini, setiap kelompok harus mengeluarkan satu regu yang akan menari sejumlah sepuluh orang. Di reguku, terpilih Iffa, guru kami, Bu Titin, dan Bu Lidya, Dewi, Toni ,Dini, Evi dan teman kami lainnya. Aku tersenyum melihat mereka sedang asyik latihan. Namun, kupandangi sahabat yang sedang ada di sebelahku, Putri. Tangannya, dingin. Ia seperti gemetar, dan tak enak badan.
“Kamu sakit?.”
“Sepertinya iya. Tapi... perasaanku gak enak, Shat...,”aku bingung harus menjawab apa dengan keadaan temanku yang satu ini.
Festival tari akan segera dimulai. Satu per satu perwakilan kelompok mengekspresikan suasana hati mereka lewat tarian.
Afinda dan Qory menghampiri kami berdua.
“Shat, malam ini, aneh ya?,”kata Afinda. Aku bingung, mengapa semua orang berpendapat kalau malam ini adalah malam yang aneh. Aku sungguh tak mengerti.
“Aneh apanya Fin? Yang bener aja, deh kamu.”
“Ya, aku ngerasa... aneh gitu, lah Shat...” Aku hanya menggeleng, dan menatap jam tangan digitalku. 7:15pm. Sudah hampir pukul delapan malam. Tak kusangka, sebentar lagi acara yang, jujur, membosankan ini akan segera selesai.
Seorang Bapak berdiri tegak, akan menutup acara ini dengan peletakan obor di tengah-tengah peserta tari. Dengan senyuman yang, menurutku agak mengganjal Bapak berkaca mata itu membawa api unggun besar yang apinya sudah melebihi besar kepalanya. Ketika ia berjalan, ada sedikit hentakan, yang membuatku ragu kalau ia bisa berjalan dengan benar. Satu., dua, hentakan kakinya yang hampir membawanya jatuh masih terselamtkan. Tapi, pada hentakan ketiga...
Obor itu jatuh ke rerumputan. Api yang besar terus menyala-nyala. Api itu mengalir bagaikan air, menuju ke pohon beringin yang lebat, yang dalam beberapa detik, telah menjadi sebuah pohon api.
Semua peserta festival berteriak histeris. Kami dikepung api! Afinda dan Qory sudah berlarian tak tentu arah. Putri menarik-narik tanganku. Aku bingung, tak bisa berpikir. Yang kulakukan hanya tercengang begitu saja melihat semua ini, dan, kutatap jam digital di tangan kiriku. Ku tekan tombol lampu di pinggirnya. 7.35pm . . . .
#
Kepalaku sungguh pening. Sedikit-demi sedikit cahaya memasuki korneaku. Aku berada di kelas. Kelas yang... tak ku kenal. Mejanya begitu tersusun rapi. Tapi, beberapa meja di depan, kulihat ada sepuluh peti di dalam kelas yang luas ini. Aku benar-benar tak mengerti. Kenapa tiba-tiba aku berada di ruangan ini? Semua orang menangis, menangis dan menangis.
“Shat...,”Putri mengagetiku. Aku tak mengerti kenapa ia mengenakan baju hitam milikku. Tapi itu tak penting. Ia menangis, namun, tatapannya masih kosong.
“Kenapa? Si... Siapa yang me... meninggal, Put?,”aku terbata-bata.
“Bu... Bu... Titin, Bu.. Bu Lidya, T.. Toni, If... Iffa, Shat... Evi....... Dewi....,”kata Putri sambil menangis. Aku terperanjat. Tubuhku lemas, serasa tak makan selama tiga hari. Air mata kini membajiri pipiku. Kenapa? Apa yang terjadi?
Aku tak berani mendatangi sepuluh peti yang ada di depan ruang kelas besar ini. Puas menangis, aku dan Putri hanya terdiam. Kami memandangi orang-orang dan polisi yang berlalu lalang. Air mataku tak bisa keluar lagi. Aku lemas, tak bisa berpikir. Sesaat kemudian, Putri menarik tanganku, ia berlari untuk menjauhi ruangan besar ini, dan berlari menuju ruangan di sebelahnya.
“Kenapa, Put?,”suaraku masih serak, seperti masih menangis.
“Shat, kamu inget kejadian itu?,”aku diam,”Festival... dan... kebakaran...,”aku mengangguk, penuh gairah.
“Setelah kejadian itu, Shat, aku... tiba-tiba terbangun di ruangan itu. Aku gak tau kenapa aku bisa di sini.” Aku kaget. Ternyata bukan aku saja. Tapi, juga Putri.
“Aku juga! Aku juga seperti itu!,”kami berdua saling bertatapan, bingung. Aku meraba-raba sakuku. Ada yang berat di saku celana jeans hitamku ini. Rasanya seperti ada sebuah lingkaran besar di dalamnya. Ku keluarkan dengan hati-hati. Sebuah stopwatch analog lusuh, mirip yang ku pakai saat praktikum fisika.
“Kayaknya, aku... pernah liat itu. Dimana ya?,”kata Putri.
“Praktikum fisika,”jawabku datar.
“Kamu ambil dari praktikum waktu itu?,”kata Putri, sedikit curiga.
“Gak, lah! Buat apa! Aku gak pernah nyuri! Benda ini tau-tau ada di sakuku, Put!.”
Aku membolak-balik stopwatch lusuh itu. Siapa tahu, aku menemukan hal aneh di hari yang aneh ini. Dengan iseng, ku tekan tombol di atasnya. Tiba-tiba, semuanya bergerak. Kelas itu bergerak, menghilang. Jarum stopwatch itu bergerak dengan sangat cepat. Berputar, terus berputar. Aku takut. Gemetar. Ku pegang dan kugenggam erat tangan Putri, yang sama dinginnya dengan tanganku. Tapi, ada sesuatu yang menarikku dan memisahkan kami berdua.
Akh, kepalaku pening. Kuperhatikan suasana di sekitar yang, sepertinya familiar. Tempat ini... ini... tempat festival di malam yang mengerikan itu!!! Oh, tidak! Tanganku masih menggenggam stopwatch lusuh itu. Aku menoleh, ke belakang, sedan putih mama baru saja pergi meninggalkan gerbang.
Aku teringat Putri. Dimana tempat ia saat festival. Benar, dugaanku. Ia sedang terlihat bingung di pojok dekat sebuah pohon. Aku menghampirinya.
“Shat, kenapa ini? Kenapa?,” Putri menangis. Aku bingung.
“Stopwatch ini yang bawa kita ke sini, Put.”
“Putar lagi Shat... Putar. Aku gak mau ada di sini. Aku gak mau...,”Putri sudah menangis. Aku takut. Aku tak mau memutar stopwatch ini. Aku takut jarumnya berhenti di saat yang tidak tepat. Aku berpikir sebentar.
“Putri!!! Aku ngerti sekarang! Stopwatch ini, ada untuk menyelamatkan kita! Kita kembali di saat ini. Saat kematian itu berlangsung! Dan, kita selamat, bukan? Kita yang sekarang, yang harus menyelamatkan diri kita sendiri.” Putri masih menangis.
“Tapi, gimana.. gimana caranya?,” air mata Putri semakin deras.
“Kita harus kabur sebelum kejadian itu!,”kataku tegas,”Jam 7.15, kita berada di sana,” aku menunjuk tempat duduk yang dipenuhi peserta festival,”Dan kejadian itu... mulai sebelum pukul 7.35,”aku berkata penuh harapan pada Putri, dan melihat jam tangan digitalku, 6:09pm.
“Lalu kita gimana? Bukannya kita terlihat aneh?,”kata Putri, air matanya sudah berhenti, namun wajahnya dihiasi ketakutan.
“Kita harus melakukan hal yang kita lakukan sama seperti kita lakukan waktu itu! Jangan bertindak aneh. Kamu ingat jam pemutar waktu di Harry Potter 3 itu kan?,” Putri mengangguk,” bedanya, Hermione yang menggunakannya menjadi orang lain dalam waktu itu. Dan kita, kita adalah diri kita sendiri yang harus menyelamatkan kita sendiri dari kejadian ini!.” Putri terdiam. Ia menyerah, tak mau beradu pendapat denganku.
“Terus, yang kita lakukan sekarang apa?,” aku berpikir sejenak untuk mengingat sesuatu.
“Kamu ingat waktu itu? Kita harus termenung di sini, sampai 7.14 dan segera menuju ke tempat duduk yang ku tunjuk tadi.” Putri terdiam. Kami, kini hanya termenung. Sedih, menatap teman-teman kami yang sedang tertawa. Tertawa di balik kejadian suram yang menyakitkan yang sebentar lagi akan terjadi.
Bu Titin, ku tatap dengan seksama. Pelupuk matanya agak menghitam. Tawanya masih menggelegar di antara teman-temanku di sana. Rasanya baru kemarin, beliau menyuruhku mengerjakan tugas di depan kelas. Iffa, Dewi, Dini, mereka tersenyum. Dewi, sesekali menoleh padaku. Aku jadi bingung harus berbuat apa. Apakah ia merasa kami aneh?. Gawat! Aku hanya membalas senyuman Dewi, dan ia kembali bercanda gurau dengan yang lain. Hatiku sedikit lega. Ku alihkan pandanganku ke kelompok anak laki-laki. Toni, kutatap wajah putihnya. Mata coklatnya berbinar. Aku ingin menyelamatkan ia juga, tapi... tidak! Tidak bisa. Ini takdirnya. Aku menangis lagi. Putri menghapus air mataku. Aku mengerti apa yang dirasakannya. Hatinya pasti sedang gundah, sama dengan aku.
7.14pm tepat. Aku menoleh pada Putri. Ia mengangguk. Sesaat saja, kursi penuh itu telah kosong, yang memang seharusnya di tempati kami berdua. Dengan perasaan yang amat galau, aku melewati Iffa, Dewi, Dini, Bu Titin, Bu Lidya, Evi dan Toni. Aku merasa agak lega ketika aku sudah duduk di tempat itu. Aku dan Putri berpegangan tangan. Takut, dan gemetar. Afinda dan Qory menghampiri kami.
“Shat, malam ini, aneh ya?,”kata Afinda. Aku tak bingung lagi mengapa semua orang berpendapat malam ini aneh.
“Aneh apanya Fin? Yang bener aja, deh kamu.”
“Ya, aku ngerasa... aneh gitu, lah Shat...” Aku hanya menggeleng. Saat ini, adalah saat ku menatap jam tanganku, 7.15pm. Kami tepat waktu!
Kami menyaksikan acara demi acara yang aku sudah hafal benar urutannya. Kini ku dapati aku semakin rajin memperhatikan jam tangan digital di tangan kiriku.
7.25. Hatiku mulai gundah. Acara penutup sebentar lagi akan dimulai.
“Putri, ayo kita pergi! Sebentar lagi akan mulai acara penutup!,”bisikku. Putri hanya terdiam, dan mengangguk. Aku menariknya menuju gerbang.
Keluar dari gerbang, kami terus berlari... berlari dan berlari menjauhi tempat itu. Kaki Putri berkali-kali tersandung, ia jatuh, aku menariknya. Semakin jauh kami berlari, rasanya tempat itu mengikuti kami, dan semakin dekat.
“Kita kemana?,”tanya Putri masih dengan suara yang parau ketika kami berhenti berlari di tempat yang kami rasa sudah cukup jauh.
“Taksi! Kita akan ke kantor mamaku, naik taksi!,”kataku sambil menyetop sebuah taksi berwarna kuning.
“Mau kemana neng?,”kata supir taksi itu.
“Kantor Departemen Agama, Jalan Gerombol nomor 15,”kataku. Taksi itu mulai berjalan. Aku melihat gelagat aneh si supir, dan... oh tidak. Ada sepotong pisau di sakunya. Bagaimana cara ku memberitahu Putri? Berbisik-bisik? Tidak mungkin! Pasti si supir itu akan curiga pada kami. Yang terbaik saat ini adalah memeberi tahu Putri dan pura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Putri?
Sejenak, aku bepikir. Aku harus memberitahu Putri secepat mungkin, sebelum supir ini bertindak. Dengan hati-hati, ku keluarkan Sony Ericsson W660-ku, agar tidak terlihat si supir.
PISAU! DI SAKU SUPIR DI DPN! GIMANA CARANYA KABUR?
Seperti dugaanku, Putri terperanjat. Ia pasti kaget. Ia seperti mau menangis. Dengan tangan cekatan, ia merebut ponselku, dan jarinya menari-nari di atas keypadnya.
PUTAR STOPWATCH ITU! JANGAN DI TEKAN TOMBOLNYA! PUTAR KE KANAN!
Aku menatap wajah Putri, yang memaksaku untuk melakukan yang kehendaknya. Dengan hati-hati, aku memutar tombolnya ke kanan, satu, dua, tiga, tiga kali. Putri memegang tanganku erat-erat. Gerakan jarum-jarumnya terasa benar. Suasana itu berputar, terus berputar.
#
Aku berada di sebuah ruangan berwarna hijau. Aku dan Putri bingung. Tapi, ruangan ini, rasanya familiar untukku. Ini...
“Kantor mama! Benar, Put ini ruang kerja mamaku!.” Aku tersenyum pada Putri yang masih terlihat gelisah.
Ku buka pintu di ruang ber-AC itu, dan kudengar suara mamaku dengan mempresentasikan hasil kerjanya. Tenang, hatiku sangat tenang.
“Jadi, stopwatch itu...,”kataku.
“Aku sudah mengerti cara kerjanya. Jika kita memutarnya ke kiri, kita akan mendapati diri kita berada di masa lalu. Satu putaran, satu jam berlalu. Jika kita memutarnya ke kanan, kita akan mendapati diri kita berada di masa depan, dan satu putaran, satu jam kita di masa depan. Kamu tadi putar berapa kali?,” kata Putri.
“Tiga kali. Kurasa itu cukup,”kataku tersenyum. Aku duduk di sebelah Putri. Sungguh, rasanya begitu mendebarkan.
“Tapi, jika kita menekan tombolnya?,”tanyaku.
“Itulah yang sedang ku pikirkan. Awal yang kita lakukan adalah menekan tombolnya. Dan yang terjadi, kita kembali ke kejadian itu. Aku tak tahu pasti, apa yang akan terjadi jika menekan tombol itu. Yang jelas, aku tak mau siapapun menekan tombol itu,”kata Putri, dengan nada sedikit membuat kulitku gemetaran.
Kini, yang harus ku lakukan bersama Putri adalah menunggu. Menunggu mamaku selesai presentasi dan pulang. Aku lelah. Aku ingin pulang.
Putri yang tak kuat menahan kantuk, telah tertidur lelap. Aku menatap stopwatch lusuh yang berada di genggaman tanganku. Otakku masih berpikir, apa yang akan terjadi bila menekan tombolnya. Bayangan stopwatch itu sedikit demi sedikit mulai hilang. Aku tak kuat lagi. Aku ingin tidur lelap...
#
Lagi-lagi kepalaku terasa pening. Tanganku tak lagi memegang stopwatch, tapi yang kupegang adalah guling yang dibungkus kain bergambar Chelsea. Yang kutatap bukan ruangan serba hijau, tempat aku tertidur, tapi beragam poster-poster Linkin Park, dan buku-buku yang tertata rapi. Kamarku. Aku berada di kamarku. Ku lihat di sebelahku, Putri masih tertidur lelap. Aku tersenyum melihat dia, sahabat yang selalu bersamaku.
“Sayang, bangunkan Putri. Saatnya makan pagi. Tadi mama dengar berita buruk. Tempat festival tadi malam kebakaran. Mama masih bingung, kenapa tadi malam kalian tahu-tahu berada di ruangan mama.”
“Iya, Ma.”
#
“Jadi, gimana ceritanya kalian bisa lolos dari kebakaran itu dan berada di kantor Mama?,”tanya Mamaku di depan aku, Putri, Adik, dan Ayah, saat makan pagi.
Aku, dan Putri, yang kini memakai baju hitam milikku, bingung. Kalau ku jelaskan, aku yakin, mereka semua tak akan percaya.
“Waktu itu... Aku, aku dan Putri bener-bener pusing, Ma. Jadi, kami putuskan untuk pulang duluan. Ke kantor Mama. Gitu,”kataku singkat. Aku melahap kembali nasi orang buatan Mama.
Lima belas menit kami sarapan, Mama akan mengantar kami untuk melihat siapa saja yang meninggal karena kejadian tadi malam.
Mobil sedan putih Mama berangkat, dinaiki oleh kami. Selama sepuluh menit, mobil itu berjalan dan berhenti di sebuah gedung besar, bertuliskan, SMAN 79. Aku dan Putri turun dari mobil. Dengan hati-hati ku raba sakuku. Benar, dugaanku, stopwatch itu masih ada di sakuku.
Polisi dan beberapa orang berlalu lalang di dalam gedung sekolah itu. Semuanya seperti baru saja menangis. Aku dan Putri berhenti di sebuah ruangan. Aku memasukinya. Ruangan itu, aku mengenalnya. Di depannya tertata rapi sepuluh peti jenazah. Tidak, itu... itu...
#
Berkas-berkas cahaya mulai memasuki kornea dan membentuk bayangan di retinaku. Orang-orang dan polisi tadi masih berlalu lalang. Ku dapati, aku kini berada di ruang kelas besar, tempat awalku merasa semuanya, aneh.
Putri mendatangiku.
“Kita, ternyata pingsan, Shat,” ia menangis. Aku juga menangis. Aku teringat Bu Titin, Bu Lidya, Evi, Iffa, tawa Dini, senyuman Dewi dan binar mata Toni malam itu.
Air mataku berhenti mengalir. Putri menarikku, menjauhi ruangan itu, dan masuk ke sebuah ruangan kosong, tempat pertama kali aku mendapati stopwatch lusuh di sakuku.
“Shatila... Aku... aku... aku takut,”kata Putri.
“Sudahlah. Semuanya sudah berlalu, Put. Kita harus bersyukur. Mungkin Allah ingin kita menemukan benda ini,” kataku sambil mengeluarkan stopwatch di genggamanku.
Beberapa saat kami hanya terdiam, saling berpandangan. Akhirnya, kami keluar dari ruangan itu. Kami bertemu Afinda dan Qory dengan mata sembab. Aku bersyukur, mereka selamat dari tragedi itu.
Qory menghampiri kami.
“Kalian, malam itu, tiba-tiba menghilang. Kemana?,”tanya Qory sedikit berbisik pada kami berdua.
“Oh, kami... kami ngerasa kami gak enak badan, jadi kami... kami pulang duluan,”kataku terbata-bata. Qory hanya diam. Aku yakin, dia tak mau beradu pendapat di suasana yang galau ini. Qory menatap tanganku, yang sedang menggenggam stopwatch lusuh itu. Ia merebut stopwatch itu. Di tekannya satu-satunya tombol yang ada di benda itu.
“Jangan!,”aku berteriak, dan reflek, aku memegang stopwatch itu, berusaha merebut dari Qory. Putri berusaha menarik tanganku. Tapi, semuanya terlambat. Tempat itu berputar, cepat sekali, secepat jarum-jarum stopwatch itu berputar.
Kami bertiga, kembali dalam malam mengerikan itu. Aku, di tempat di mana baru saja Mama mengantarku, dengan tangan menggenggam stopwatch lusuh yang baru saja ku rebut dari tangan Qory. Putri, berada di pojok dekat sebuah pohon, dalam suasana yang begitu takut. Dan Qory, ia bingung, menatap kami berdua.
Ku tatap stopwatch lusuh ini, dengan seksama. Benda yang tiba-tiba kutemukan di sakuku. Tak tahu, sebenarnya aku mendapatkannya di mana. Benda, yang bisa membawa siapa saja kembali ke masa lalu, jika memutar tombolnya ke kiri. Setiap putaran, berarti satu jam berlalu. Dan akan membawa siapa saja ke masa depan, bila memutar putaran pada tombolnya ke kanan. Satu putaran, satu jam akan berada di masa depan.
Dan, jika seseorang menekan tombolnya, maka ia akan berada di ruang waktu, antara cinta dan kematian. Waktu dimana akan terpisahnya antara cinta dan kematian. Waktu dimana manusia akan ingat, betapa besarnya cinta di kala sempitnya waktu.
Stopwatch ini membawaku dan Putri, serta kini, Qory menuju waktu yang memisahkan cinta kami dengan kematian saudara-saudara kami yang kami cintai. Stopwatch ini membawa kami kepada ruang waktu yang membuat kami menangis, melihat cinta kami yang akan pergi. . . Ruang waktu antara cinta dan kematian. Ruang waktu saat terakhir melihat orang yang kami cintai . . .
#
THE END
By : ShAtiLa_LZ
Theme song = Easier To Run, meteora, Linkin Park
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Give ur comment.....
don't forget...